Kamis, 04 Juni 2009

Petaka Harbin dan Sinyal Konservasi Air

Hampir satu pekan, menyusul ledakan pabrik kimia di hulu Sungai Songhua, China, air bersih di kota Harbin menjelma menjadi petaka karena sumbernya tercemari bahan kimia benzena. Mimpi buruk itu berlanjut menghantui warga Rusia yang berjarak 1.000 kilometer dari lokasi pabrik.

Aliran sungai Songhua mengandung benzena—yang bersifat memicu kanker (karsinogenik)—juga mencemari 500-an sungai di wilayah Rusia.

Ramai-ramai media cetak, radio, dan televisi menyiarkan mimpi buruk itu. Air bersih, bagi jutaan jiwa yang menjadi korban, tiba-tiba berwujud kemewahan. Sebelumnya, air bersih adalah kemudahan rutin.

Pemerintah setempat sibuk luar biasa mengantisipasi kebutuhan air bersih warga. Semua rencana terpaksa batal dan harus diganti antre demi air kemasan atau demi ember-ember besar yang menampung pasokan air bersih. Para teknisi bekerja lembur menggali ratusan sumur.




Pada saat bersamaan, penduduk di belahan dunia lain, termasuk Indonesia, hanya dapat turut prihatin atau barangkali tidak tahu-menahu akan adanya bencana itu. Dan, selama pasokan air lancar, tidak ada yang sadar bahwa kehadiran air bersih sebenarnya adalah perjuangan.

Kota Harbin adalah salah satu contoh bagaimana air bersih benar-benar amat berharga untuk dijamin pemenuhannya, meski ujian itu hanya berlangsung kurang dari sepekan.

Kasus Beijing

Masih di dalam satu negara, persoalan air kini mulai menghantui warga kota Beijing, ibu kota negara berpenduduk terpadat di dunia itu. Kali ini petaka datang dari ketersediaan air tanah di akuifer-akuifer yang terus merosot karena eksploitasi.

Kecepatan eksploitasi melebihi kemampuan alam meregenerasinya. ”Kondisinya kronis,” kata Profesor Zongxue XU, profesor kepala dan Deputi Dekan Ilmu Air di Universitas Normal Beijing, ketika ditemui di Simposium Internasional Ekohidrologi di Bali, akhir November.

Dibandingkan dengan kondisi tahun 1960-an, cadangan air tanah di bawah kota Beijing berkurang 6,23 miliar meter kubik, berkedalaman hanya 12,2 meter dengan luas permukaan 796 kilometer persegi.

Salah satu faktor pemicu merosotnya ketersediaan air di Beijing adalah populasi manusia. Tingkat urbanisasi sangat tinggi tidak diimbangi penambahan sumber air bersih.

Akibatnya, kualitas air merosot drastis dan degradasi lingkungan tak terhindarkan. Belum lagi dampak pertumbuhan industri dan sektor pertanian yang membutuhkan banyak air.

Menurut Zongxue, tantangan paling riil adalah eksploitasi air dalam jumlah besar menyusul keputusan China sebagai tuan rumah Olimpiade 2008. ”Keberlanjutan dan keamanan sumber air makin terancam,” kata dia menjelaskan.

Pemaparan Zongxue tentang krisis air senada dengan data dalam buku Blue Gold - Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air. Di sana disebutkan bahwa selama empat dekade terakhir permukaan air tanah di bawah Beijing turun hingga 37 meter. Di seluruh China, sumur- sumur mengering misterius, penampungan-penampungan air menurun, demikian pula danau dan sungai.

Sungai Kuning, misalnya, pada tahun 1997 lalu gagal mencapai laut selama 226 hari, setelah tahun 1972 untuk pertama kalinya gagal mencapai laut.

Dengan kondisi seperti di atas, seperti diungkapkan Zongxue, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah menerapkan manajemen keberlanjutan. Air bersih harus diupayakan dikonservasi, selain menjaganya dari kemungkinan pencemaran.

Ekohidrologi

Pendekatan terbaru terkait konservasi sumber daya air adalah ekohidrologi. Ilmu baru dalam menangani persoalan air yang memadukan pendekatan hidrologi dengan ekologi. Air dipahami tidak berdiri sendiri. Air butuh komponen ekosistem untuk keberlanjutannya, demikian pula ekosistem butuh air.

Karena itu, pengelolaan air harus berkembang menjadi pengelolaan sumber daya air. Ekohidrologi juga berarti mengubah perlakuan terhadap air yang eksploitatif menjadi lebih ramah lingkungan.

Menurut Direktur Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ir Gadis Sri Haryani, pendekatan ekohidrologi mendesak diterapkan melihat kondisi alam sekarang.

Suplai air melimpah ruah di kala hujan dalam bentuk banjir, sebaliknya kekeringan melanda di kala kemarau. Sebuah situasi yang beberapa tahun silam tidak terjadi secara masif. Hal ini menunjukkan adanya gangguan dalam siklus hidrologi.

Air yang turun ke Bumi dalam bentuk hujan tidak lagi banyak diserap dan menjadi air tanah, tetapi bergerak di permukaan dan berakhir di lautan. Akibatnya, cadangan air dalam tanah sangat minim dan tidak mencukupi kebutuhan minimal keanekaan hayati.

Di sinilah pendekatan ekohidrologi besar artinya. Penanganan ketersediaan air tanah dan permukaan harus memerhatikan dan menyentuh kondisi lingkungan pendukungnya, seperti tutupan lahan, hutan, area tangkapan air, hingga perilaku masyarakat. Model pengelolaan badan air harus diubah mengelola daerah aliran sungai (DAS).

Karena itu, penanganan persoalan air harus melibatkan berbagai sektor, termasuk masyarakat sekitar supaya merasa memiliki lingkungannya.

Di Indonesia, upaya memeliharaan dan menjaga keberlanjutan sumber daya air mutlak diperlukan karena kondisi yang kian parah. Menurut UNESCO, sumber daya air di Indonesia sebenarnya melimpah.

Akan tetapi, secara kualitas menjadi persoalan besar terutama di kota-kota besar. Sungai- sungai yang menjadi pemasok utama air bersih PDAM-PDAM masuk kategori tidak layak karena tingginya kandungan logam berat dan bahan kimia.

Di Jakarta temuan terakhir peneliti LIPI menunjukkan akuifer penyedia air tanah di Jakarta ternyata tidak disuplai dari Bogor, melainkan dari kawasan timur dan selatan Jakarta saja. Padahal air tanah terus dieksploitasi tanpa henti untuk perumahan atau industri.

Kasus Harbin dan kondisi Beijing kembali mengingatkan manusia bahwa air bersih mutlak diperlukan dan harus dikonservasi. Ketersediaan air bersih bukanlah kinerja mesin, yang ketika tombol ditekan, semua berlangsung lancar

0 komentar:

Posting Komentar

  ©Template by Dicas Blogger.