Jumat, 05 Juni 2009

pencemaran air sungai code


Bapak Subadi (umur 52 tahun)

Bapak Subadi menceritakan bahwa di dahulu dia berasal dari desa Ngeplak, Jongkang, Sleman. Di tahun 1970, dia tinggal di perkampungan sungai Code yang masih sepi dan belum dipadati penduduk, apalagi jembatan Sardjito belum DIBANGUN dan di sebelah timur sungai masih menjadi Kode Kuburan Cina yang cukup luas. Baru di tahun 1980, kampung di sekitar Kode mulai ramai setelah jembatan Sardjito DIBANGUN. Dahulu, tepian sungai Code masih ditumbuhi oleh pohon bambu yang Lebat, sungai Code masih lebar dan airnya sangat jernih. Dari dulu, penduduk sekitar Code menggunakan air sungai untuk mandi, mencuci, dan memasak, tapi jika sungai Code sedang banjir, penduduk lebih banyak memakai air sumur. Sumber mata air masih banyak terdapat di sebelah timur tepi sungai Kode dan mempunyai banyak belik.



Bapak Subadi mulai membangun rumahnya di tahun 1980. Di tahun 1992/1994, talud di pinggir sungai untuk Kode DIBANGUN mengantipasi banjir yang sering terjadi di musim hujan atau banjir lahar dingin yang datang dari gunung Merapi. Dulu jika ada banjir lahar dingin, sungai Code ini akan penuh dengan material pasir atau batu. Talud ini DIBANGUN oleh Dinas Pengairan. Tahun 1996/1997, jalan setepak DIBANGUN oleh masyarakat di tepi sungai Code dan dibantu oleh mahasiswa KKN UGM Swadaya dengan dana dari masyarakat sendiri.

Di tahun 1996/97, masyarakat berhasil membangun instalasi air dengan mengalirkan air dari sumber mata air di sungai Kode sebalah timur ke perkampungan Kode menuju ke sebelah barat dengan menggunakan pompa udara. Air ini digunakan untuk mandi dan mencuci di WC umum. Pipa ini dialirkan menggunakan gaya gravitasi karena mata air itu muncul di lereng bukit yang curam, lalu diarahkan ke sebelah barat yang lebih landai. Di tahun 2001, DIBANGUN sebuah instalasi pipa yang mengalirkan air ke 118 rumah penduduk. Instalasi udara ini DIBANGUN MPKD bersama oleh masyarakat dan IT. Penduduk yang berlangganan air ini ditarik biaya per kubiknya: 1-15 kubik air = Rp 500, 15-30 kubik = Rp 700, dan 30-seterusnya = Rp 1000. Biaya ini cukup murah dibanding Perusahaan Air Minum (PAM) yang biayanya bisa 3 kali lipatnya. Sebelum dialirkan ke rumah-rumah penduduk, air lebih dahulu diberi kaporit untuk mematikan bakteri Ekoli Airnya juga tidak berbau kaporit seperti air di PAM.

Motivasi bapak Subadi untuk membersihkan sampah yang Terbawa oleh sungai adalah karena sampah yang Terbawa air sungai akan berhenti di sekitar jembatan Sardjito Sampah-sampah itu cukup mengganggu karena berbau dan tidak sedap dipandang mata. Sampah yang terkumpul, kemudian dikeringkan di pinggir sungai, lalu dibakar. Sebagian sampah organik dibuat untuk rabuk bagi tanaman pisang yang ditanam di pinggir sungai. Membersihkan sungai adalah Kesadaran pribadi penduduk tanpa ada paksaan, Setiap minggunya ada kerja bakti. Kebanyakan sampah biasanya berasal dari Rumah Tangga dan tidak banyak sampah dari industri. Dahulu Pantirapih rumah sakit dan Sardjito masih membuang sampahnya ke sungai Code dan mencemari air sungai, tapi sekarang sudah ada Pengolahan Limbah sampah, sehingga tidak ada lagi sampah rumah sakit yang Dibuang ke sungai.

Di tahun 2005, talud di sebelah timur runtuh, sehingga mengakibatkan banyak material seperti batu dan pasir yang tertimbun Memenuhi hampir separuh dari sungai Code. Jika banjir, kondisi di perkampungan pinggir Kode ini sangat berbahaya karena airnya meningkat tajam, untungnya tidak sampai menerjang ke rumah-rumah penduduk, tapi akibatnya talud sebelah barat mulai tergerus oleh air dan banyak lobang di dasarnya, sehingga pak Subadi bersama penduduk lapor ke Dinas Perairan untuk membangun bronjongan. Bronjongan ini berfungsi mampu menahan talud barat agar tidak runtuh jika ada banjir menerjang. Di tahun 2006, talud di bawah Gereja runtuh juga, tapi tidak terlalu membahayakan penduduk di sekitarnya.



EKO Nugroho

Eko Nugroho sudah tinggal di kawasan pinggir Code sejak tahun 1978. Dia sendiri adalah seorang wiraswasta. Dia bercerita bahwa pengelolan sampah yang Terbawa di sungai Code biasanya dipinggirkan ke tepi, lalu dijemur. Setelah kering, lalu dibakar. Tapi jika ada pembalut wanita atau bangkai tikus dan anjing, maka biasanya akan dibiarkan Terbawa Arus atau istilahnya dikeleké.

Pencemaran udara ke sungai Kode Limbah dari industri atau rumah sakit biasanya tidak begitu banyak terjadi karena sudah ada Pengolahan Limbah sebelum masuk ke dalam sungai. Tapi efek samping dari pemrosesan Limbah ini sering dengan cara menebarkan ikan sapu-sapu sebagai pembersih Limbah. Efek positifnya, ikan sapu-sapu ini cukup sukses membersihkan kotoran atau Limbah, tapi negatifnya ikan sapu-sapi ini justru memakan atau menghabiskan ikan-ikan yang lain, sehingga tidak baik untuk ekosistem sungai Code. Sejak terdapat ikan sapu-sapu yang melimpah sejak tiga tahun yang lalu, tidak banyak lagi ikan terdapat di sungai Code. Dahulu banyak ikan lele, orang yg menyeberang sungai, kotes, dan lain-lain sebelum habis oleh ikan sapu-sapu ini. Ikan sapu-sapu ini sulit dibrantas karena hidup di rongga-rongga sungai dan perkembangan biaknya sangat cepat. Jika dijaring pun hanya dapat satu atau dua, apalagi daging ikan sapu-sapu ini tidak enak untuk dikonsumsi.

Air di sungai Code ini juga sudah banyak tercemar Limbah dari rumah sakit Sardjito, sehingga menurut penelitian dari mahasiswa dan MIPA Biologi UGM menyatakan bahwa udang-udang di sungai Code sudah banyak yang mati atau terhambat perkembangannya. Limbah ini menghancurkan habitat udang-udang yang dahulu banyak sekali terdapat di tepi sungai Code.

Ada sebuah usaha yang dilakukan dengan penduduk menamakan dirinya GCC (Gerakan Cinta Code) dengan mengadakan acara perlombaan mancing. Biasanya mereka menebar benih ikan di sungai Code, setelah beberapa bulan lalu mereka menyelenggarakan perlombaan mancing. Sayang bibit ikan yang banyak dilepas ini juga terhambat oleh perkembangan ikan sapu-sapu. Usaha lainnya adalah jika ada orang yang mencari ikan dengan nyetrum, maka ada kesepakatan oleh para penduduk di Jetis ini untuk melemparinya dengan batu.

Pengelolaan sampah dari penduduk biasanya dikumpulkan di tong sampah dan Dibuang ke TPS, mereka tidak lagi membuang sampah ke sungai. Tapi sayang biasanya justru banyak orang lain yang bukan penduduk kampung Jetis ini membuang sampah dari atas jembatan Sardjito. Mas Eko berharap bahwa ada suatu Perda atau sangksi dari pemerintah daerah yang dijatuhkan kepada orang yang membuang sampah sembarangan ke sungai. Dia bercerita bahwa saat dia tinggal di Semarang, dia pernah didenda RP. 10.000, - gara-gara melempar sampah ke sungai. Cara seperti ini akan efektif untuk Mencegah orang untuk membuang sampah ke sungai. Jika hanya diperingatkan saja, maka masih banyak orang yang bandel dan terus membuang sampah ke sungai.

Kewajiban membesihkan sungai adalah suatu yang biasa dilakukan Mas Eko karena rumahnya mangku kali atau berada di tepi sungai. Setiap minggu biasanya diadakan kerja bakti. Setiap 3 bulan sekali, KPDL / Departemen Lingkungan Hidup memberikan dana sekitar Rp 100.000 sampai Rp 200.000 bagi penduduk untuk mengadakan kerja bakti membersihkan sungai. KPDL ini juga mengadakan perlombaan kebersihan sungai di tiga sungai di kota Yogya: Code, Winongo, dan Gadjah Wong. Kampung Jetis ini pernah Meraih Juara pertama dari KPDL dan mendapatkan hadiah sebuah tape minicompo. Biasanya Juara pertama dari lomba ini mempunyai keuntungan bahwa surat bantuan atau proposalnya akan cepat atau langsung disetujui oleh KPDL.

Sejarah Tirta Kencana atau pemasangan air minum ke rumah-rumah penduduk bermula saat ada mata air yang melimpah di sisi timur sungai Code, lalu ada penduduk menciptakan pancuran, Kemudian pancuran itu diarahkan ke sebelah utara dengan menggunakan pipa dan pompa. KKN UGM 1996 membuatkan sebuah menara dengan pipa hidrolik. Di tahun 1997, Sri Sultan juga membantu dengan membuatkan menara untuk melayani 25 pelanggan. Kempreswil juga menyumbang pompa dengan lsitrik sejak tahun 1999 sampai 2004 dengan mengalirkan air ke 120 rumah penduduk. Di tahun 2005 mendapatkan bantuan dari MPKD / IT dari UGM. Tirta Kencana nama sendiri berarti air emas.





Suharto (70 tahun)

Bapak Suharto sudah menempati rumah di pinggir sungai Code sejak tahun 1984. Dia mempunyai profesi sebagai tukang cat di sebuah proyek Konstruksi. Rumahnya berada di belakang WC umum yang DIBANGUN 2001. Dulunya WC umum ini hanya bak mandi yang belum tertutup. Saat ini dia adalah salah seorang warga yang mempunyai tugas untuk membersihkan WC umum.

Pengelolaan sampah di kampung Code ini sudah teratur, penduduk tidak lagi membuang sampahnya ke sungai, tapi sudah dimasukan ke tong sampah yang setiap hari diambil oleh penarik gerobak sampah. Penduduk sungai Code ini ditarik Rp 6.500 setiap bulannya untuk pengelolaan sampah dan penarik gerobak sampah diberi Upah Rp 150.000, - setiap bulannya. Sayang penduduk di utara kampung Jetis seperti di kampung Blimbing Sari dan Sendowo yang kebanyakan adalah rumah Dosen UGM masih sering membuang sampah ke sungai.

Pak Suharto bersama pak Subadi biasanya yang membersihkan sungai Code ini. Dia adalah orang yang menanam pisang di sepanjang Code ini. Sampah yang terkumpul biasanya ditumpuk untuk dijadikan rabuk. Jika Panen pisang, maka hasilnya akan dibagi-bagi ke penduduk di pinggir Code.

Setiap minggu sering ada kerja bakti terutama memperbaiki jalan yang ada dibawah jembatan Sardjito. Kerja bakti ini sering dibantu oleh Tentara dari Koramil atau polisi. Rencananya di bawah jembatan ini akan DIBANGUN sebuah taman oleh Pemda serta tandon air selebar 4 meter dan panjang 20 meter. Tandon udara ini pembangunannya akan dilelangkan ke swasta, tapi pengelolaannya nantinya oleh penduduk di kampung Jetis.

PDAM juga ikut menyumbang kepada penduduk kampung Jetis ini dengan menyambungkan dengan pipa udara dan meteran di 15 rumah dengan biaya hanya Rp 300.000, -.

0 komentar:

Posting Komentar

  ©Template by Dicas Blogger.